BANDUNG - Di lahan sempit yang tak lebih dari 5 meter, warga RW 08 Cibaduyut, Kecamatan Bojongloa Kidul secara swadaya membangun alat pembakaran sampah atau incinerator. Alat ini diciptakan langsung dari tangan Yosep Barkah Ibrahim, Ketua Karang Taruna RW 08 Cibaduyut.
"Saya kasih nama alat ini Jozef. Risetnya dari tahun 2005, setelah ada bencana di TPA Leuwigajah. Saya berpikir, kalau tidak ada solusi yang cepat, kita hanya akan membuat gunung sampah di Kota Bandung," tutur Yosep saat menjelaskan awal mula membuat incinerator.
Hingga akhirnya, perjuangan riset bertahun-tahun itu berbuah manis. Sejak dua bulan silam, Jozef telah mengantongi sertifikat lolos uji emisi dari Laboratorium Pengendalian Kualitas Lingkungan (LPKP). Hasilnya, asap incinerator Jozef berada di bawah batas baku mutu. Meski beberapa kali harus disempurnakan sesuai dengan standar.
"Dari hasil itu, pihak penguji bahkan sudah memastikan incinerator kami ini aman untuk lingkungan. Tidak ada gumpalan asap hitam yang keluar dari proses pembakaran," ujarnya.
Meski begitu, sampai saat ini ia terus meriset dan menyempurnakan incinerator Jozef. Awalnya ia membuat incinerator ukuran kecil dari bahan drum besi. Kemudian, dikembangkan lagi dengan material yang lebih mumpuni.
"Kalau dari bahan-bahan material yang biasa, biaya membuat satu incinerator itu mencapai Rp10 juta-Rp15 juta. Tapi kalau bahannya pakai yang bagus semua seperti semen api, fire brick, dan ceramic fiber itu bisa mencapai Rp50-Rp100 juta," ucapnya.
Setelah membuat ukuran lebih besar, kini ia pun membangun incinerator dengan sistem yang lebih kompleks. Filtrasinya sampai enam lapis.
Ia memaparkan, sistem incinerator Jozef memiliki ruang pembakar sampah padat dan ruang pembakar asap. Kedua ruangan itu akan bereaksi aktif ketika temperatur ideal.
"Pembakaran sampah yang di bawah, cukup dengan temperatur 500-800 derajat celcius sudah bisa digunakan. Sedangkan ruang pembakar asap itu harus di atas 800-1.300 derajat celsius," papar Yosep.
Secara proses, di ruang bawah tempat pembakaran sampah padat akan mengeluarkan asap. Kemudian asap diolah lagi di ruang 2, sehingga terjadi pembakaran lagi di sana. Oleh karena itu, dibutuhkan material khusus untuk membangun incinerator.
Untuk proses awal, batok kelapa kering dijadikan sebagai bahan bakar permulaannya untuk memanaskan incinerator. Batok kelapa tersebut diperoleh dari pedagang karena sampah kelapa tidak bisa dibuang di Bank Sampah.
"Incinerator ini bisa mengolah 3 ton sampah per hari. Kita beroperasi setiap malam mulai dari pukul 21.00-00.00 WIB. Tapi tergantung banyaknya sampah. Kalau semakin lama, ya bisa sampai pukul 02.00 pagi," jelasnya.
Saat musim kemarau seperti ini, proses pembakaran akan lebih cepat. Namun, jika musim hujan, pemanasan incineratornya membutuhkan waktu lebih lama.
Ia menambahkan, dengan kondisi TPA Sarimukti saat ini, warga RW 08 tak merasakan dampak berarti. Sebab di lingkungannya permasalahan sampah betul-betul sudah teratasi 100 persen dengan incinerator. Sampah anorganik pun sudah dipilah warga dan dimasukkan jadi tabungan emas di Bank Sampah.
"Semua sampah habis di sini. Tidak ada yang dibuang ke TPA. Bahkan kami juga sampai cari-cari sampah di luar lingkungan ini untuk kami bantu olah," ungkapnya.
Ia mengaku, masyarakat sekitar merasa sangat terbantu. Sebab, sebelum ada incinerator, sering ada keterlambatan pengangkutan sampah ke TPS. Apalagi kalau TPS sedang penuh, di roda sampah juga penuh, otomatis sampah di rumah warga juga menumpuk. Jadi banyak alat berkerumun.
"Di sini ada 400 KK dari 3 RT. Dulu kami bikin dua incinerator kecil. Masih dipakai sampai sekarang. Cuma karena incinerator ini 'makannya' banyak, jadi difokuskan pembakaran di incinerator utama saja," tuturnya.
Ia menyebutkan, sudah banyak daerah lain yang memesan incinerator Jozef. Di antaranya Ciparay, Majalaya, Masamba Sulawesi Selatan, Sumedang, Garut, Perumahan Kopo Sari Bandung.
Yosep berharap, melalui incinerator Jozef mimpinya bisa terwujud yakni Kota Bandung bersih dari sampah 100 persen.
"Mimpi saya, Kota Bandung itu bisa bersih. Slogan-slogan 'Jagalah Kebersihan' tidak hanya sekadar diteriakkan, tapi juga ada solusi konkretnya," katanya.
"Dengan adanya ini, kita bisa PD buat teriak 'Jagalah Kebersihan' Kota Bandung. Udaranya juga harus bersih. Percuma kalau ada incinerator, tapi udaranya tercemar," imbuh Yosep.
Sementara itu, Ketua RW 08 Kelurahan Cibaduyut, Gana menuturkan, dalam sehari daerahnya bisa menghasilkan 1-2 ton sampah. Namun, semua warganya sudah bijak memproduksi sampah. Terlihat dari antusiasme para warga dalam memilah sampah.
"Warga pilah sampah. Organiknya diolah sendiri, anorganik disetorkan ke Bank Sampah untuk jadi tabungan emas. Sedangkan sampah residu dibakar di incinerator," kata Gana.
Ia menjelaskan, pengolahan sampah di sini dibantu Karang Taruna. Mereka yang membuat incinerator dan jadi pengumpul sampah anorganik juga. Pihak RW hanya membantu untuk sosialisasi dan mendukung program mereka.
"Alhamdulillah incinerator ini pun akhirnya bisa dibangun dari hasil swadaya masyarakat dan donatur yang benar-benar membatu warga di sini," tuturnya.
Meski ia akui tidak mudah dalam menyosialisasikan pembangunan incinerator. Ada warga yang pro dan kontra. Namun, perlahan setelah mengetahui manfaatnya, warga pun lebih banyak yang mendukung.
"Mungkin karena dulu masyarakat belum tahu dan belum terasa manfaatnya. Masih ada yang takut juga kalau ini berbahaya bagi kesehatan," akunya.
Judy Hermawan, Camat Bojongloa Kidul menambahkan, di Kecamatan Bojongloa Kidul sudah ada 6 kawasan bebas sampah (KBS) dengan sistem pengolahan sampah yang berbeda-beda. Salah satunya di Kelurahan Cibaduyut RW 08 yang menggunakan metode incinerator.
"Ini ide murni dari putra-putra terbaik masyarakat kami. Mereka menciptakan alat incinerator untuk pengolahan sampah dengan sistem pembakaran. Produk ini juga sudah lolos uji emisi, sehingga aman untuk lingkungan dan terus berprogres jadi lebih baik," terang Judy.
Selain dari wilayah lain, Satgas Citarum Harum juga memesan beberapa unit incinerator buatan Yosep. Menurutnya, dengan hadirnya incinerator ini bisa meningkatkan potensi lapangan kerja.
Menurut salah satu warga RW 08, Nunung, pemilahan sampah di lingkungannya sudah berjalan sangat baik.
Ia sudah memilah sampah selama 10 tahun. Sampah anorganik ia serahkan ke Karang Taruna untuk dibawa ke Bank Sampah. Sedangkan sampah organik, Nunung olah sendiri untuk dijadikan pupuk cair.
"Ini buat siram tanaman obat. Ada kunyit, kencur, jahe, jarak, dan inahong. Sisa makanan sebagian dijadikan pakan ternak," kata Nunung.
Meski ia mengaku, pada awal pembuatan incinerator, masih ada beberapa permasalahan. Namun, sekarang sudah lebih baik dirasakan warga sekitar.
"Sampah yang sisanya tidak bisa diolah itu dibuang ke incinerator. Awalnya pas baru ada itu bikin saya batuk-batuk. Tapi sekarang sudah tidak. Mungkin karena pembakarannya sudah lebih baik," ujarnya.
Posting Komentar