
Asep Sunandar Sunarya |
|
Nama lahir |
Asep Sukana |
Lahir |
3 September 1955
Bandung, Jawa Barat |
Meninggal |
31 Maret 2014 (umur 58)
Bandung, Jawa Barat |
Pekerjaan |
Dalang
Seniman |
Tahun aktif |
1970 - 2014 |
Pasangan |
- Euis Garnewi
- Elas Sulastri
- Ati
- Sumirat
- Nenah Hayati
|
Anak |
Maesaroh
Dadan Sunandar
Dani Andylau
Dinar Mustika
Elin
Gina Tridasanti
Cipta Dewa
Gunawan Wibiksana
Bhatara Sena
Gysta Gumilar Agustina
Yogaswara Sunandar
Sunan Purwa Aji
Aria Sadewa
Maulana Yusuf |
Orang tua |
Abah Sunarya |
Agama |
Islam |
Asep Sunandar Sunarya atau sering dipanggil Ki Asep Sunandar Sunarya (lahir di
Bandung,
Jawa Barat,
3 September 1955 – meninggal di Bandung,
Jawa Barat,
31 Maret 2014 pada umur 58 tahun)
[1]
adalah seorang maestro wayang golek di Indonesia. Selaku dalang wayang
golek Asep Sunandar Sunarya (di rumahnya biasa dipanggil Abah, di udara
sebagai
breaker menggunakan nama Eyang Abiyasa) konsisten pada bidang garapannya,
teu incah balilahan.
Ia ditakdirkan untuk menjadi dalang oleh dalang yang sesungguhnya,
yakni Tuhan. Ia begitu menyatu dengan dunia wayang golek yang Ia
gelutinya sehingga penghargaan demi penghargaan, baik dari tingkat
lokal, provinsi, nasional, bahkan manca negara Ia dapatkan.
Tanpa adanya seorang Asep Sunandar Sunarya mungkin Cepot tidak akan
sepopuler sekarang ini. Berkat kreativitas dan inovasinya, Ia berhasil
meningkatkan lagi derajat wayang golek yang dianggap seni kampungan oleh
segelintir orang. Peningkatan itu dilakukan dengan menciptakan wayang
Cepot yang bisa mangguk-mangguk, Buta muntah mie, Arjuna dengan alat
panahnya, Bima dengan gadanya begitu pula dengan pakaian wayangnya yang
terkesan mewah.
Materi dan ketenaran ia dapatkan dari hasil berjuang tanpa henti
dengan menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang sering kali tidak
atau kurang menyenangkan. Sebelum suka datang, tentu duka menghampiri,
bahkan seringkali suka dan duka menyatu dalam rentang panjang perjalanan
seorang Asep.
Orang tidak banyak tahu bahwa perjalanan dalam profesinya sebagai
dalang, demikian berliku. Tidak jarang, di awal kariernya Asep sering
mendapatkan kritikan pedas dari berbagai kalangan, terutama dari sang
ayah (
Abah Sunarya).
“Setiap kali jika saya selesai pagelaran,
Abah selalu mengatakan
“goréng”
(jelek) terhadap apa yang saya lakukan. Abah itu orang tua yang pelit
sekali untuk tertawa, anehnya hanya ketika saya mendalang dengan
lawakan, dan Abah menyaksikan, ia tertawa. Bagi saya sepedas apapun
kritikannya, saya jadikan pupuk dan cambuk sehingga memacu kreativitas
dan inovasi. Saya menjadi sekarang ini berkat adanya hari kemarin, ujar
Asep.
Lebih jauh Asep mengatakan:
“Kuring kudu ngahaturkeun nuhun ka sing saha waé anu geus ngritik, rék didasaran ku ngéwa atawa nya’ah, pé
k té
h teuing. Sajaba ti é
ta, meureun perlu ogé
kuring nendeskeun yé
n naon rupa kré
ativitas
jeung inovasi anu ku kuring dilakukeun, dina raraga tarékah sangkan
seni Sunda wayang golék anu mibanda ajén adi luhung, tetep bisa hirup
disagala zaman, kaasup dijaman kiwari anu gening batan sakitu loba nilai
seni katut budaya deungeun anu asup ka Indonésia pon kitu deui karasa
ku urang Sunda. Atuh meureun mun wayang golék teu dimumulé kujalan
inovasi mah tangtu baris kadéséh kubudaya deungeun téh. Nudipigusti ku
Kuring mah ngan Gusti, lain pakem, lain wayang golék, lain tali paranti.
Sapamanggih Kuring pakem wayang golek lain perkara anu statis komo kudu
disakralkeun mah, lain! Ngan disisi séjén, kuring ogé kudu méré atawa
nyadiakeun lolongkrang pikeun saha waé anu miboga pamadegan anu teu
sajalan jeung pamanggih kuring, mangga téh teuing. Teu aya guna jeung
manfaatna mutuskeun silaturahmi alatan pakem jeung hal séjén anu sifatna
multitafsir. Naon anu dilakukeun ku Kuring, ngaropéa wayang golék ku
jalan inovasi, lantaran Kuring yakin yén euyeub pisan niléi-niléi
kamanusaan katut Katuhanan dina seni Sunda wayang golék. Kumangrupa anu
mere aprésiasi kana naon anu ku Kuring dilakukeun, éta mah hak balaréa
séwang-sewangan,da kuring mah darma diajar, atuh ngadalang gé darma
diajar,” ungkapnya.
Dari Asep Sukana Menjadi Asep Sunandar Sunarya
Mimpi adalah sebuah misteri yang multi tafsir kebanyakan orang
menganggapnya sebagai bunga tidur namun tidak sedikit juga yang
beranggapan bahwa mimpi adalah medium Tuhan "Menyampaikan"
pengetahuan-Nya kepada manusia, dan yang namanya tafsir itu pastinya
banyak versi. Kita tidak pernah paham secara detil apa hubungannya
antara mimpi dengan kenyataan.
namun inilah kenyataan yang dialami seorang Ibu pada tahun 1955 di
Kampung Giriharja Bandung. Ia bernama Tjutjun Jubaedah (biasa dipanggil
Abu Tjutjun), isteri seorang dalang terkenal pada masanya yakni Abeng
Sunarya (biasa dipanggil Abah Sunarya).
Suami Istri ini dikarunia 13 orang anak:
- Suherman Sunarya
- Ade Kosasih Sunarya
- Miktarsih Sunarya
- Otah Saodah Sunarya
- Ilis Sunarya
- Nanih Sunarya
- Asep Sunandar Sunarya (Sukana)
- Imas Sunarya
- Iden Subrasana Sunarya
- Nunuk Sunarya
- Permanik Sunarya
- Ugan Sunagar Sunarya
- Agus Sunarya
Inilah salah satu episode tautan antara mimpi dengan kelahiran.
Ketika usia kandungan Abu Tjutjun menginjak bulan ketujuh Ia bermimpi
bahwa kalau anak yang ke-7 dalam kandungannya lahir maka tidak boleh
diberi nama. 3 September 1955 Abu Tjutjun melahirkan putra ke-7 seorang
anak laki-laki. teringat akan mimpinya maka jabang bayi tersebut tidak
diberi nama.
Entah apa hubungannya antara mimpi tersebut dengan niat Abah Sunarya
sebab menginjak usia 15 bulan setelah lahir, sang jabang bayi
"diserahkan" kepada adiknya Abah yang bernama Ibu Eja (akrab dipanggil
Ma Jaja) yang kebetulan belum dikaruniai anak. Sejak saat itu hak asuh
sang bayi menjadi tanggung jawab Ma Jaja (alias sang Bibi bagi si Bayi)
Karena sang Bayi tidak bernama tentu ada kekhawatiran pada diri Ma
Jaja jika tetangganya menanyakan perihal nama Bayi tersebut. Untuk
menyiasatinya maka Ma Jaja berfikir keras hingga muncul ide Sukana yakni
semacam akronim dari Bahasa Sunda yang berarti sa suka na (sesukanya).
kemudian Sukana menjadi semacam "nama" bagi Bayi tersebut. Ide ini
datang sebagai "jalan tengah" atau solusi jitu sebab dengan cara seperti
itu Ma Jaja tidak melanggar apa yang diamanatkan oleh sang Kaka.
Salah satu sebutan untuk laki-laki dikalangan masyarakat Sunda adalah
Asep (disamping Encep atau Ujang). Jadilah kemudian sang bayi terbiasa
disebut Asep Sukana. Hampir seperti kebanyakan anak-anak lainnya pada
zaman itu, Asep kecil senang sekali dengan dongeng atau kawih yang
menyertainya menjelang tidur. Selain itu, Asep kecil sudah
memperlihatkan kesukaannya terhadap aneka binatang peliharaan, seperti
kucing, anjing, burung dan ayam. saking sayang nya pada binatang Asep
kecil menamai binatang-binatang itu salah satunya anjingnya yang hitam
polos diberinama Lutung.
Pada diri Asep mengalir darah seni dari Ayahnya. Diawali sejak usia 7
tahun ( kelas 1 SD) minat Asep terhadap wayang golek sudah mulai
tumbuh. Selain karna faktor turunan juga memang pada zaman itu pagelaran
seni Wayang Golek masih digandrungi oleh masyarakat. Juga, pada saat
itu belum ada "saingan" dari jenis seni lainnya sebagaimana terjadi pada
zaman sekarang. Bakat Sukana kecil ia perlihatkan dengan kegemarannya
membuat wawayangan dari ranting-ranting pohon yang jatuh, tanah liat,
dan daun singkong.
Asep Sukana yang hidup dibelaian Ma Jaja, tentu saja menganggap bahwa
Ma Jaja adalah Ibu kandungannya sendiri. Paling kurang selama 16 tahun
Asep Sukana tidak pernah tahu siapa sesungguhnya orangtua kandungnya.
Namun berkat kebijakan dari Ma Jaja maka akhirnya Asep mengetahui siapa
ayah dan ibu kandungnya. Maka pada suatu kesempatan, Ma Jaja, Abeng
Sunarya, dan Tjutjun Jubaedah bertemu, tersibaklah kemudian asal-usul
atau silsilah keluarga yang sebernarnya.
Suatu ketika saat Asep Sukana manggung di Luragung, ia mendalang siang hari (ngabeurangan) sedangkan pada malam harinya yang menjadi dalang adalah Abah Sunarya, maka saat itulah Abah Sunarya berujar:"Ngewa ngaran Sukana, ganti ku Sunandar!"
Sejak saat itulah Asep Sukana berubah menjadi Asep Sunandar, sedangkan
nama Sunarya merupakan nama Ayahnya yang kemudian digunakannya. Hal ini
lazim terjadi di Masyarakat Sunda khususnya, dimana nama Ayah kerap
digunakan dibelakang nama anaknya.
"Apalah artinya sebuah nama tanpa Karya" Asep Sunandar.
Penghargaan Atas Karya
Tentu banyak alasan kenapa ia memperoleh aneka penghargaan tersebut.
Yang jelas tidak mungkin ada penghargaan tanpa prestasi dan tidak
mungkin ada prestasi tanpa karya. Dari berkarya kemudian berprestasi
tentu merupakan tangga tersendiri, dan tangga ini hanya mungkin dilalui
atau dicapai apabila padanya terdapat inovasi dari ragam kreativitas
yang dilakoninya. Artinya, Asep tidak hanya sekedar berkarya namun lebih
jauh dari itu ia berkarya disertai inovasi dan kreativitas. Artinya
pula, karya Asep tidak stagnan melainkan dinamis, terus mengikuti
perkembangan dan tuntutan zaman, ngindung kawaktu mibapa kajaman.
Selain penghargaan Individu Peduli Tradisi, Asep memiliki penghargaan atas semua kreativitasnya itu, diantaranya
1978 Asep Sunandar Sunarya berhasil menyandang juara
Dalang Pinilih I tingkat Jawa Barat pada Binojakrama padalangan di Bandung. selang empat tahun kemudian yakni pada tahun
1982, terpilih kembali menjadi
juara pinilih I lagi di Bandung. sejak
1982-
1985 Asep Sunandar Sunarya rekaman kaset oleh SP
Record, dan Wisnu
Record.
Dan pada tahun 1985, ia dinobatkan sebagai Dalang Juara UMUM tingkat
Jawa Barat pada Binojakrama Padalangan di Subang, dan ia berhak
memboyong Bokor Kencana sebagai lambang supremasi padalangan Sunda Jawa
Barat.
1986,
Asep Sunandar Sunarya mendapat mandat dari pemerintah sebagai duta
kesenian, untuk terbang ke Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, 1986,
Dian Record mulai merekam karya-karya Asep Sunandar dalam bentuk kaset
pita.
1993, Asep Sunandar Sunarya diminta oleh
Institut International De La Marionnette di Charleville, Perancis, sebagai dosen luar biasa selama dua bulan, dan diberi gelar profesor oleh masyarakat akademis
Perancis.
Tahun
1994, Asep Sunandar Sunarya mulai pentas di luar negeri, antara lain di:
Inggris,
Belanda,
Swiss, Perancis, dan
Belgia, setelah itu, yakni
1995, ia ,mendapat penghargaan bintang
Satya Lencana Kebudayaan.
Hingga sekarang, tidak kurang dari 100 album rekaman (termasuk
bobodoran) yang sudah dihasilkan Asep Sunandar Sunarya. bahkan salah
satu station tv swasta juga pernah membuat program khusus Asep berjudul
Asep Show.
Setidaknya itulah beberapa penghargaan formal yang pernah diraih
Asep. Tidak terhitung aneka penghargaan nonformal, baik yang datang dari
perseorangan maupun kelembagaan.
Dari semua itu, pada kesehariaanya, Asep tetaplah Asep yang hidup
bersahaja, mengenakan sarung, dan bersila, serta "bercengkrama" dengan
domba-domba peliharaanya.
Benar tidaknya Asep Sunandar Sunarya bisa disebut sang Maestro(?),
tentu bukan yang bersangkutan yang menjawabnya. Hanya masyarakat, baik
itu penggemar wayang golek dan pemerhati wayang setidaknya yang dapat
menilainya. Tentu saja penilaian ini merujuk kepada sejumlah karya yang
sudah dihasilkannya. Yang jelas salah satu stasiun televisi sempat
merekam jejak perjalanan seorang Asep dalam format acara "Maestro"
beberapa tahun yang lalu.
Fakta menunjukan bahwa jam terbang manggungnya cukup mencengangkan
bahkan sekitar 1985-1990-an, ia seringkali harus manggung 40 kali
perbulannya.
Kehidupan Pribadi
Pada umur 17 tahun Asep Sunandar Sunarya menikahi Euis Garnewi (16
tahun) seorang Pesinden juga anak seorang Camat. Dari pernikahannya itu
Asep dikaruniai 1 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki
yaitu: Mae Saroh, Dadan Sunandar, dan Dani. Namun nasib tak bisa
ditolak, perkawinan mereka hanya bertahan hingga 7 tahun, meraka pun
sepakat untuk bercerai secara baik-baik.
Tuhanpun mempertemukan Asep dengan Elas Sulastri (18tahun) seorang Gadis asal Lembang Jawa Barat, tahun
1978,
saat itu usia Asep 23 tahun. Dari pernikahannya Asep dikarunia 1 orang
anak lakii-laki dan 2 orang anak perempuan yaitu: Dinar Mustika, Elin,
dan Gina Tridasanti. Namun, lagi-lagi jalan hidup tidak ada yang
menduga. Pernikahannya dengan Elas kandas ditengah jalan. Usia
pernikahannya dengan Elas Sulastri hanya berlangsung 6 tahun.
Pada usia 29 tahun Asep menikah lagi dengan Ati (20tahun) seorang Gadis asal Rancaekek,
Bandung
Jawa Barat. Dari pernikahannya dengan Ati lahirlah seorang anak
laki-laki yang diberi nama Cipta Dewa atau sering dipanggil Ito. Pada
tahun yang sama, Asep menikah lagi dengan gadis asal Cangkuang bernama
Sumirat (sebagai istri kedua), dari pernikahannya dengan Sumirat
lahirlah seorang anak laki-laki yang diberinama Gunawan Wibiksana.
Inilah jalan kehidupan Asep. Sama sekali yang bersangkutan tidak pernah
tahu bahwa dirinya harus berpoligami.
Tahun
1985
saat Asep berusia 31, Ia terpikat gadis cantik dari Cianjur Kadupandak
yang bernama Nenah Hayati (15 tahun). Pertemuannya bermula saat Asep
sedang pentas di daerah tersebut. Pendek cerita akhirnya mereka sepakat
untuk menjalin tali kasih, yang seterusnya menikah pada tanggal
4 Maret 1985.
Kedua istrinya yang dimadu tersebut dangan rela harus melangsungkan
perceraian sebagai jalan terbaiknya setelah mengetahui suaminya sudah
menikah lagi dengan gadis cantik yang baru lulus dari SMP.
Dari pernikahan tersebut lahirlah 6 orang anak laki-laki: Batara
Sena, Gysta Gumilar Agustina, Yogaswara Sunandar, Sunan Purwa Aji, Aria
Sadewa, dan Maulana Yusuf. Hingga saat ini hanya satu istri yang hidup
serumah dengan Asep.
Hidup dan jalan kehidupan seseorang memang menjadi rahasia Tuhan.
"Euweuh.. Euweuh nu nyaho manusa mah soal jodo, pati, bagja katut
cilaka. kitu deui jeung Uing, ah teu nyangka wé sagala rupana ogé, geus
kieu wé kuduna, da mémang kieu gening kanyataanana. teu Dalang, teu
Présidén, teu Hancip, teu Ulama teu saha, ari ceuk nu Maha Sutradara
kudu A nya pasti kajadian A. Aaaaah tarima wé ku kasadaran da sagala gé
teu hayang komo embung". Ujar Asep.
Dalang kondang ini memiliki riwayat penyakit jantung dan rencananya
akan dibawa ke sebuah rumah sakit di Singapura untuk berobat. Namun
takdir berkata lain, pada tanggal
31 Maret 2014, Asep Sunarya meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit Al-Ihsan Bandung.
[2]
Referensi